Tukang Nyari'

Sabtu, 22 Januari 2011

PATHOL SARANG

Pathol adalah olah raga tradisional masyarakat pesisir pantai utara mulai dari daerah Jawa Timur (Gresik,Paciran,Brondong) sampai daerah Jawa Tengah (sampai dengan daerah pesisir Jepara)










MENGENAL PATHOL
Pathol adalah salah satu jenis olah raga tradisonal yang memfokuskan pada adu kekuatan seperti layaknya gulat yang biasa di lakukan di tepi pantai dan nasibnya hampir sama dengan seni-seni tradisional pada umumnya,yaitu mulai tergusur dengan seiring perkembangan jaman.
Yang kita rasakan pertama kali ketika menyaksikan olah raga ini adalah keanehan dalam pertandingan adu kekuatan ini, karena tidak selamanya pemain yang mempunyai fisik yang besar dapat memenangkan pertandingan pathol ini. Karena dalam pertandingan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik juga, melainkan juga memerlukan teknik-teknik tertentu (tidak menutup kemungkinan adanya dukungan tenaga dari unsur lain juga ikut mempengauhinya,kalau di lihat dari latar belakang sejarahnya). Dan pada umumnya pelaksanaannya di lakukan di atas hamparan pasir di tepi pantai dengan luas arena pertandingan sekitar 6-8 meter, yang terbentuk sedemikian rupa tanpa adanya pembatas antara arena dan luar arena, hanya barisan penonton saja yang kelihatan sebagai pembatasnya. 
Pelaksanaan pertandingan ini d pimpin oleh 2 orang wasit (pelandang), pertandingan di awali dengan bunyi-bunyian gamelan yang di tabuh oleh para penabuh (panjak) dan kemudian masuk 2 orang pelandang tersebut yang saling berjogetan di tengah arena. Para peserta pathol bisa dari kalangan mana saja dan tidak menutup kemungkinan berasal dari luar daerah, yang ketika menang tidak mendapatkan suatu hadiah yang berarti, melainkan prestise yang di buru oleh para pemain pathol tersebut.
Setelah pelandang berjoget-jogetan di tengah arena sambil mencari para pemain pathol, setelah mendapatkan pemain, maka pemain tersebut d lucuti pakaiannya dan hanya mengenakan celana pendek saja, kemudian pemain di berikan selendang sepanjang sekitar 1,5 meter (udhet) dengan warna yang berbeda dan di ikatkan di pinggang pemain dengan tujuan sebagai sarana pegangan untuk membanting lawan. Ketika semua sudah siap, maka tibalah saat para pemain untuk bersiap-siap dengan ketentuan-ketentuan dan teknik-teknik yang lumrah di gunakan di pertandingan pathol tersebut. Setelah mendapatkan pemenangnya, pertandingan pathol pun selesai dan di lanjutkan dengan pemain-pemain berikutnya. Dalam pertandingan pathol ini, bisa juga tidak mendapatkan pemenang atau seri (pajang). Begitu seterusnya, karena pertandingan pathol ini tidak ada batasan waktu yang di gunakan. Pertandingan ini biasanya di laksanakan pada sore hari hingga menjelang petang.

SEJARAH PATHOL
Kapan seni tradisional Pathol mulai ada dan di kenal ?
Sangatlah sulit untuk menjawab dan menunjukkan kapan seni tradisional ini mulai ada dan berkembang  yang hingga akhirnya mulai tergeser seperti sekarang ini.
Pada Masa Kerajaan Majapahit
Dari penuturan beberapa para pemain pathol di beberapa tempat, Pathol sudah mulai ada sejak jaman sebelum penjajahan Belanda. Atau lebih tepatnya sejak jaman kerajaan-kerajaan dulu, pathol sudah ada dan di kenal.Ini dapat di ketahui dengan di awali adanya Pelabuhan Latu kota Tuban sebagai pintu gerbang kerajaan Majapahit.
Aapabila kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah masa lalu, mulai tahun 1294, Raden Wijaya berhasik membuka Hutan Tarik, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan nama MAJAPAHIT, yang menuai masa kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (wafat tahun 1351) berhasil mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, dengan di bantu oleh 7 orang Adipati.
  1. Tribuwana Tunggadewi, (Ibu Prabu Hayam Wuruk). Memerintah Kadipaten Kahuripan yang wilayah kekuasaannya meliputi Pasuruan sampai Lumajang.
  2. Bree Lasem (Adik Prabu Hayam Wuruk). Memerintah Kadipaten Lasem dengan wilayah kekuasaan meliputi Lasem, Tuban sampai dengan Pacitan.
  3. Rajasa Wardhana (Ipar Prabu Hayam Wuruk). Memegang  kekuasaan Kadipaten Matahun, wilayah kekuasaannya meliputi Bojonegoro sampai Blora.
  4. Wijaya Rajasa (Paman Prabu Hayam Wuruk). Memegang Pemerintahan di Kadipaten Wengker, dengan wilayah kekuasaan meliputi Ngawi, Madiun sampai Ponorogo.
  5. Dyah Wiyah Raja Dewi (Bibi Sang Prabu Hayam Wuruk). Memerintah Kadipaten Dhaha yang wilayah kekuasaannya meliputi Kediri sampai Tulungagung.
  6. Bree Pajang (Adik Prabu Hayam Wuruk). Memerintah Kadipaten Pajang, meliputi Solo, Boyolali sampai Klaten.
  7. Wardahan (Ipar Prabu Hayam Wuruk). Memerintah Kadipaten Paguhan, dengan wilayah kekuasaan meliputi Malang sampai Blitar.
Kaitannya dengan munculnya Pathol adalah adanya Tuban yang memiliki pelabuhan sebagai pintu gerbang Kerajaan Majapahit, maka keamanan dan segala urusan di pelabuhan di serahkan kepada Bree Lasem yang menjadi penguasa di Kadipaten Lasem.
Karena memiliki tanggung jawab yang besar dan tidak ringan terhadap keamanan pelabuhan, maka Bree Lasem menyerahkan tanggung jawan keamanan pelabuhan kepada adiknya, yaitu Pangeran Sri Sarwadana, merasa memperoleh kepercayaan untuk menjaga pelabuhan agar terhindar dari sasaran kejahatan dari bajak laut dan para perompak, maka beliau membentuk pasukan angkutan laut yang kuat, dengan merekrut para pemuda di sepanjang pantai Gresik hingga Jepara untuk di jadikan pasukan angkatan laut.
Untuk bisa di terima menjadi pasukan angkatan laut di Kadipaten Lasem tidaklah mudah, sang Pangeran menginginkan prajuritnya adalah seorang yang tangguh dan tidak terkalahkan (dalam bahasa Sansekerta di sebut PATHOL). 
Untuk menentukan dan memilih para prajurit tersebut, oleh Pangeran Sri Sawardana melakukan seleksi. Yaitu dengan mengadu para calon prajurit tersebut. Siapa yang menang dan tak terkalahkan, maka dapat di terima sebagai prajurit Angkatan Laut Kadipaten Lasem.
Adapun tata cara seleksi tersebut tergolong unik, setiap pemuda yang akan di adu, di lepas seluruh pakaiannya, dan hanya menggunakan celana pendek dengan seutas tali yang di ikatkan di pinggang. Kemudian para calon prajurit itu di adu satu sama lain hingga mendapatkan para pemenang yang pada akhirnya dapat masuk menjadi prajurit di Angkatan Laut Kadipaten Lasem. 
Apabila kita kaitkan tata cara dan teknik pelaksanaan di atas memang ada kesamaan dengan Seni Tradisional Pathol yang kita kenal sekarang ini.










Pada Jaman Penjajahan Belanda
Berbeda dengan jaman Kerajaan Majapahit, Pathol pada masa penjajahan Belanda Pathol di gunakan sebagai sarana untuk mengadu domba bangsa. Ini bukan tanpa alasan, Belanda merasa khawatir dan takut dengan kekuatan para masyarakat pribumi yang diketahuinya dari para pemain pathol yang mempunyai kekuatan sangat kuat.
Pada masa kolonial, masyarakat pribumi di adu dengan menggunakan sarana pathol ini dengan iming-iming hadiah (prize). Dengan adanya penyelenggaraan Pathol yang di laksanakan oleh Belanda ini, Pathol mengalami banyak perubahan di tujuannya. Kalau dulu pathol adalah untuk mencari siapa yang terkuat, Pathol pada masa penjajahan Belanda adalah untuk memperoleh hadiah yang di sediakan oleh Pemerintah Belanda. Sehingga para jawara Pathol mengikuti pertandingan bertujuan untuk memperebutkan hadiah (prize). Bahkan tidak jarang Pathol di gunakan untuk sarana judi dengan taruhan yang tidak sedikit. Sehingga persaingan untuk memperebutkan hadiah tersebut semakin meruncing dan berujung dengan saling membenci dari para penduduk pribumi. Ini semakin dimanfaatkan oleh Kolonial Belanda untuk semakin mengadu domba warga pribumi dengan mengadakan pertandingan Pathol secara besar-besaran dengan hadiah yang semakin besar. Dari sinilah pertandingan Pathol mulai ada perubahan di tujuan dan nama. Karena pertandingan Pathol ini untuk memperebutkan hadiah, maka Pathol berganti nama dengan prizzen.
Pada Masa Kemerdekaan
Pada masa setelah penjajahan atau setelah merdeka, Pathol juga mengalami perubahan. Di masa penjajahan, penyelenggaraan pagelaran Pathol boleh di lakukan di mana saja, dan boleh d lakukan kapan saja. Ini juga bukan tanpa sebab, karena dengan semakin banyaknya pagelaran Pathol di jaman penjajahan Belanda, akan semakin banyak jatuh korban dari pihak pribumi karena tewas di pertandingan, juga semakin menimbulkan kebencian karena saingan dan pertikaian antar daerah karena kekalahan di pertandingan Pathol.
Tetapi di masa setelah kemerdekaan, pertandingan Pathol tidak bisa sebebas jaman Belanda, setiap pertandingan Pathol harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu untuk bisa mengadakannya. Mulai dari syarat perijinan, dalam acara apa Pathol di selenggarakan, juga keamanan-kemanan yang di gunakan dalam pertandingan Pathol itu sendiri. Ini di maksudkan untuk menghindari kecelakaan yg terjadi dalam pertandingan dan juga segi keamanan lingkungan itu sendiri.
Di masa sekarang Pathol sudah mulai mengalami kemunduran, baik dari segi tehnik dalam Pathol itu sendiri yang sudah mengalami perubahan, juga kuantitas pertandingan yang hanya di laksanakan beberapa kali saja dalam satu tahun. Pagelaran pertandingan Pathol jaman sekarang biasanya di laksanakan ketika peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, peringatan sedekah desa (di daerah pesisir biasa di sebut Sedekah Laut) saja. Penyelenggaraannyapun hanya sekedarnya saja, tidak layaknya penyelenggaraan-penyelenggaraan hiburan yang lain.
Ada yang perlu di garis bawahi di tiap pertandingan Pathol pada tahun-tahun sebelumnya. Setiap diadakannya pertandingan Pathol, baik pengunjung atau penonton maupu para pemain pathol itu sendiri berdatangan dari berbagai daerah. Dan setiap ada pertandingan yang diadakan secara besar-besaran itu  hampir  seluruh  para pemain Pathol selalu muncul pemenangnya adalah pemain dari daerah Sarang (salah satu kecamatan kabupaten Rembang yang berbatasan langsung dengan Jawa Timur di sebelah utara).
Ada juga kejadian yang sangat menarik di pagelaran Pathol, yaitu H. Miran, salah satu pemain Pathol asal Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Beliau ini sudah berani turun di arena pathol sejak usia 10 tahun, dan di setiap turun arena, beliau selalu kalah. Karena merasa selalu kalah dan selalu di permalukan di arena, maka pada usianya yang ke 15 tahun beliau berguru pada jawara-jawara Pathol yang ada di daerah Sarang. Mulai dari belajar fisik hingga pelajaran non fisik, yaitu supranatural pun di jalani. Banyak lelaku yang di jalani oleh Haji Miran ini, mulai dari tidur di atas kayu penyanggah atap (blandar-jawa) hingga berendam di kedung (sungai yang tidak mengalir). Setelah selesai menjalankan ajran-ajaran itu, sejak saat itu juga beliau menjadi seorang Pathol yang tidak terkalahkan hingga akhir hayatnya pada tahun 1992. Meskipun bertmpat tinggal di Desa Kebloran Kecamatan Kragan, tetapi beliau menamakan dirinya "Pathol Sarang". Ini di karenakan ilmu beliau di peroleh dari para Pathol Sarang.
Yang lebih menarik lagi, salah satu istri Haji Miran yang bernama Mursiti ini di peroleh dari taruhan di arena Pathol. Dan juga pernah mempertaruhkan istrinya tersebut di arena Pathol, selain mempertaruhkan harta bendanya.
Hingga sekarang Sarang adalah identik dengan daerah para Pathol hingga di sebut sebagai Pathol Sarang.
Bahkan Pathol Sarang pun pernah beberapa kali di liput di beberapat stasiun televisi pemerintah dan swasta.

(dari berbagai sumber)


2 komentar:

  1. save my art/tradition frm sarang.... semoga pemuda lebih peduli lgi, agar pathol sarang lebih membuming

    BalasHapus
  2. Kapan pathol Sarang di adakan tiap tahunnya? Pada bulan apa?

    BalasHapus